Kamis, 15 Desember 2011

Emile Durkheim dan Fakta Sosial

Inilah sekilas teori Durkheim tentang Fakta Sosial
   Dalam buku The Rules of Sociologycal Method (1895/1982), Durkheim menyatakan bahwa tugas utama sosiologi adalah mengkaji apa yang disebut dengan Fakta Sosial. Ia mengonsepkan fakta sosial sebagai kekuatan dan struktur yang ada diluar, namun memiliki daya paksa terhadap individu. Kekuatan dan struktur tersebut misalnya hukum yang terlembaga dan keyakinan moral yang dipegang bersama, dan dampak yang ditimbulkan terhadap seseorang, dan hal tersebut menjadi pokok perhatian para teoritisi sosiologi. Durkheim menyatakan bahwa “fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal; atau bisa juga dikatakan bahwa fakta sosial adalah seluruh cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi individual”.
          Durkheim membedakan 2 jenis fakta sosial yaitu material dan nonmaterial. Fakta sosial material, seperti gaya arsitektur, birokrasi, hukum dan perundang-undangan, sedangkan fakta sosial nonmaterial seperti kebudayaan, institusi sosial, dan norma-norma sosial. Meskipun Durkheim membahas keduanya, tetapi fokus kajian utamanya terletak pada fakta sosial nonmaterial. Durkheim mengungkapkan: “Tidak semua kesadaran sosial mencapai .... eksternalisasi dan materialisasi” (1897/1951:315). Apa yang saat ini disebut norma dan nilai, atau budaya oleh sosiolog secara umum adalah contoh yang tepat untuk fakta sosial nonmaterial. Ada beberapa jenis dari fakta sosial nonmaterial menurut Durkheim, yaitu:
1. Moralitas
Perspektif Durkheim tentang moralitas terdiri dari dua aspek. Pertama, Durkheim yakin bahwa moralitas adalah fakta sosial, dengan kata lain, moralitas bisa dipelajari secara empiris, karena ia berada di luar individu, ia memaksa individu, dan bisa dijelaskan dengan fakta-fakta sosial lain. Artinya, moralitas bukanlah sesuatu yang bisa dipikirkan secara filosofis, namun sesuatu yang mesti dipelajari sebagai fenomena empiris. Kedua, Durkheim dianggap sebagai sosiolog moralitas karena studinya didorong oleh kepeduliannya kepada “kesehatan” moral masyarakat modern.

2. Kesadaran Kolektif
Durkheim mendefinisikan kesadaran kolektif sebagai “seluruh kepercayaan dan perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah masyarakat akan membentuk suatu sistem yang tetap yang punya kehidupan sendiri, kita boleh menyebutnya dengan kesadaran kolektif atau kesadaran umum. Dengan demikian, dia tidak sama dengan kesadaran partikular, kendati hanya bisa disadari lewat kesadaran-kesadaran partikular”.
Ada beberapa hal yang patut dicatat dari definisi ini. Pertama, kesadaran kolektif terdapat dalam kehidupan sebuah masyarakat ketika dia menyebut “keseluruhan” kepercayaan dan sentimen bersama. Kedua, Durkheim memahami kesadaran kolektif sebagai sesuatu terlepas dari dan mampu menciptakan fakta sosial yang lain. Kesadaran kolektif bukan hanya sekedar cerminan dari basis material sebagaimana yang dikemukakan Marx. Ketiga, kesadaran kolektif baru bisa “terwujud” melalui kesadaran-kesadaran individual.
Kesadaran kolektif merujuk pada struktur umum pengertian, norma, dan kepercayaan bersama. Durkheim menggunakan konsep ini untuk menyatakan bahwa masyarakat “primitif” memiliki kesadaran kolektif yang kuat, yaitu pengertian, norma, dan kepercayaan bersama , lebih dari masyarakat modern.

3. Representasi Kolektif
Contoh representasi kolektif adalah simbol agama, mitos, dan legenda populer. Semuanya mempresentasikan kepercayaan, norma, dan nilai kolektif, dan mendorong kita untuk menyesuaikan diri dengan klaim kolektif.
Representasi kolektif juga tidak bisa direduksi kepada individu-individu, karena ia muncul dari interaksi sosial, dan hanya bisa dipelajari secara langsung karena cenderung berhubungan dengan simbol material seperti isyarat, ikon, dan gambar atau berhubungan dengan praktik seperti ritual.

4. Arus Sosial
Menurut Durkheim, arus sosial merupakan fakta sosial yang tidak menghadirkan diri dalam bentuk yang jelas. Durkheim mencontohkan dengan “dengan luapan semangat, amarah, dan rasa kasihan” yang terbentuk dalam kumpulan publik.

5. Pikiran Kelompok
Durkheim menyatakan bahwa pikiran kolektif sebenarnya adalah kumpulan pikiran individu. Akan tetapi pikiran individual tidak secara mekanis saling bersinggungan dan tertutup satu sama lain. Pikiran-pikiran individual terus-menerus berinteraksi melalui pertukaran simbol: mereka megelompokkan diri berdasarkan hubungan alami mereka, mereka menyusun dan mengatur diri mereka sendiri. Dalam hal ini terbentuklah suatu hal baru yang murni bersifat psikologis, hal yang tak ada bandingannya di dunia biasa. 

sumber bacaan:
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2011. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

oleh Kurnia Dwi Sulistiani