Senin, 09 Januari 2012

Korupsi sebagai Budaya Politik Indonesia

Label korupsi tidak semata-mata diperuntukkan bagi pegawai negeri, TNI, Polri, pegawai BUMN/BUMD atau anggota parlemen pusat dan daerah, atau pejabat dan pelaku fungsi yudikatif, atau konglomerat dan badan usaha swasta namun juga dapat dilabelkan pada semua lembaga dan anggota masyarakat dengan pekerjaan tertentu yang secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan kepentingan publik. Itu sebabnya muncul paham bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi budaya, sehingga banyak masyarakat mengatakan “korupsi itu biasa” karena terjadi nyaris disemua sektor dan lapisan masyarakat.
Korupsi telah mewabah dan ada dimana-mana. Korupsi bukan hanya soal pejabat public yang menyalahgunakan jabatannya, tetapi juga soal orang, setiap orang, yang menyalahgunakan kedudukannya yang dengan demikian dapat memperoleh uang dengan mudah.
Korupsi dapat dimulai dari sebelah mana saja: suap ditawarkan pada seorang pejabat, atau seorang pejabat meminta uang pelicin.
Pada Masa Orde Baru, korupsi menjadi suatu keterselubungan birokrasi pemerintah yang dimanipulasikan dengan kestabilan ekonomi rakyat. Dibalik kestabilan tersebut,Soeharto menyembunyikan korupsi politik yang dilakukannya, seperti membelit negara dengan hutang luar negri dan  elit politik yang menikmati kekuasaan Soeharto. Korupsi tersebut pun dipicu oleh adanya ketidaktransparansi anggaran pemerintah sehingga banyak peluang untuk melakukan praktik korupsi. Pada era-orde baru juga didukung oleh pemerintahan yang otoriter dan subversif. Otoritas jabatan Soeharto menjadikan kuasa politik tanpa batas. Keotoritasan itu pun berdampak kepada praktik korupsi politik. Perusahaan negara seperti Bulog,Pertamina Departemen Kehutanan sering dianggap sebagai sarang korupsi sehingga banyak sekali mahasiswa dan pelajar yang protes tentang permasalahan tersebut. Padahal pada saat itu pun ada Tim Pemberantasan Korupsi tapi kelompok tersebut menunjukkan ketidakseriusan dalam memberantas korupsi. Para elit pemerintahan pada masa ini dapat melakukan praktik korupsi dengan mudah
Pada Masa Era Reformasi, penyakit korupsi menjangkiti elemen penyelenggara negara. BJ Habibie yang pada awalnya aktif dalam memberantas korupsi, terlihat dari usahanya dalam mengeluarkan UU No.28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. Presiden selanjutnya, Abdurrahmah Wahid nampak perannya dalam pemberantasan korupsi ketika membuat Tim Gabungan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK) dan peran Megawati ketika membentuk suatu badan yang berdiri hingga sekarang masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang bernama KPK (Korupsi Pemeberantasan Korupsi). Namun, dari pembentukan badan dan pembuatan undang-undang tersebut masih saja belum menyelesaikan permasalahan korupsi.  Para elit politik dan penyelenggara negara masih melakukan praktik politik walaupun media massa sekarang pun banyak menyoroti pejabat-pejabat yang terkait dengan tindak pidana korupsi dan ketangkap basah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi  (KPK) namun pengusutan tersangka korupsi yang melibatkan banyak pihak belum terselesaikan. Problematika itu dibelit-belit dan tampak seperti permainan politik pemerintahan. Misalnya dalam menangani kasus Gayus dan Bank Century. Kasus tersebut ditangani dengan lambat,  dan  kasus ini pun harus mengorbankan satu mentri Keuangan, Sri Mulyani. Kasus Gayus juga  belum terselesaikan hingga sekarang dan masih mencari tersangka yang terkait. Akhirnya,citra presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun jatuh.        
Dari sejarah yang dikaji, terlihat bahwa korupsi sudah menjadi budaya para aparatur negara Indonesia sehingga rakyat jengah melihat keadaan Indonesia yang semakin miskin karena ketidakmerataan alokasi dan distribusi SDA, infrastruktur pembangunan kurang memadai dan kekacauan permasalahan sosial dan politik Indonesia. Dampaknya, rakyat semakin apatis untuk memperhatikan peranan pemerintah dan pemerintah menjadi asumsi negatif di mata rakyat. Aparat pemerintah juga menjadi teladan bagi masyarakat Indonesia dimana korupsi juga menyebar luas di kalangan masyarakat. Masyarakat juga tidak ingin dibodohi terus-menerus oleh pemerintah sehingga mereka juga sering melakukan praktik korupsi, baik dalam skala besar maupun kecil. Contoh kasusnya terlihat pada kasus kecil dimana penilangan polisi dibayar memakai lembaran dua puluh ribu, daftar pekerjaan atau kuliah dengan menggunakan amplop, dan perilaku korupsi lainnya yang menimbulkan mental bangsa Indonesia menjadi mental korupsi dan mengakar menjadi budaya bangsa Indonesia.
Korupsi merupakan fenomena di masyarakat yang tak bisa di pungkiri lagi keberadaan nya, adanya korupsi merampas hak asasi manusia, dan di Indonesia hampir semua rakyat miskin tidak terpenuhi haknya seperti hidup layak, mendapatkan pendidikan, mendapatkan perlindungan itu semua dikarena kan kepentingan pribadi orang orang tidak bertanggung jawab yang melakukan korupsi sebagai bentuk kompetitif yang menyimpang
Maka dari itu, pemerintah, DPR, dan penegak hukum seharusnya bersama-sama menerapkan suatu paradigma pemberantasan korupsi. Paradigma tersebut tidak hanya dalam bentuk prosedural dimana struktur pemerintah yang hanya melengkapi fungsional personal dalam pemberantasan hukum, seperti menyediakan penyidik, penuntut, dan pengadilan khusus. Tapi elemen tersebut seharusnya dilingkupi dengan rasa keadilan, sanksi moral yang kuat, memperbaiki sistem-sistem pemerintah yang rentan dengan praktik korupsi. Langkah awal yang harus dijalankan pemerintah dengan dilaksanakannya perubahan paradigma bangsa dalam pemberantasan korupsi dan perbaikan moral pemerintah dengan integritas yang tinggi.
Sumber:
Pope, Jeremi. 2003. Strategi Memberantas Korupsi; Elemen Sistem Integrasi Nasional. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

oleh Kurnia Dwi Sulistiani